Walau Toxic, Voice Chat Masih Jadi Media Komunikasi Favorit Gamers

Voice chat jadi alat favorit gamers untuk berkomunikasi. Namun, voice chat juga sering disalahgunakan untuk mengganggu pemain lain

Sejak game online menjadi populer, perilaku para gamers pun mulai berubah. Game tidak lagi menjadi media hiburan yang dinikmati sendiri, tapi bersama dengan orang lain. Bagi sebagian gamers, game bahkan menjadi alat komunikasi dengan teman-teman mereka. Selama pandemi, game juga dijadikan sebagai tempat untuk berkumpul bersama-sama.

Sayangnya, komunitas gamers tidak bebas dari masalah toxicity. Belum lama ini, Speechly, startup asal Finlandia, merilis laporan tentang perilaku toxic gamers di berbagai alat komunikasi di dalam game maupun di luar game, termasuk di voice chat. Berikut ulasannya.

Toxicity di Voice Chat

Untuk mengetahui pola perilaku toxic di kalangan gamers, Speechly meminta Voicebot Research mengadakan survei pada lebih dari seribu gamers online di Amerika Serikat. Berdasarkan survei tersebut, diketahui bahwa voice chat masih menjadi alat komunikasi favorit para gamers. Masalahnya, voice chat juga menjadi alat utama bagi toxic gamers untuk melakukan harassment.

Sebanyak 68% gamers online menggunakan voice chat. Dan hampir setengah dari mereka merasa, voice chat membuat game menjadi lebih menyenangkan untuk dimainkan. Tidak bisa dipungkiri, voice chat memang menawarkan berbagai keuntungan untuk para gamers. Salah satunya, voice chat memungkinkan para gamers untuk membuat rencana dan melakukan koordinasi dalam game. Tak hanya itu, para newbies juga bisa belajar dan mendapat wejangan dari gamers yang lebih berpengalaman melalui voice chat.

Persentase gamers yang menggunakan voice chat. | Sumber: Speechly

Tak hanya itu, menurut Todd Bouris, Manager of Software Engineering, Unity, gamers yang berkomunikasi dengan satu sama lain saat bermain game biasanya menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain game. Dan hal ini berlaku untuk gamers dari semua platform, tidak peduli genre dari game yang mereka mainkan. Jadi, elemen sosial pada game sebenarnya membantu developer dalam mempertahankan gamers.

Sayangnya, popularitas voice chat sebagai alat komunikasi antar para gamers juga berarti banyak kejadian harassment yang terjadi via voice chat. Data dari survei Voicebot menunjukkan, voice chat merupakan media komunikasi yang paling toxic. Berdasarkan survei tersebut, diketahui bahwa 50% gamers pernah mengalami harassment. Angka ini naik menjadi 72% di kalangan pengguna voice chat.

Jika dibandingkan dengan pengguna text chat, kemungkinan pengguna voice chat mengalami harassment 35% lebih tinggi. Frekuensi harassment yang terjadi di voice chat juga lebih tinggi dari text chat. Kemungkinan, alasan mengapa tingkat toxicity di text chat cenderung lebih rendah daripada voice chat adalah karena text chat biasanya memiliki fitur peringatan, yang akan secara otomatis menandai gamers ketika mereka menggunakan kata makian.

Tingkat toxicity di setiap media komunikasi para gamers. | Sumber: Speechly

Satu hal yang membuat toxicity di voice chat sulit untuk diatasi adalah karena sistem moderasi untuk voice chat didasarkan pada sistem protes dari korban. Jadi, ketika harassment terjadi di voice chat, korban punya tanggung jawab untuk mengajukan protes. Setelah itu, para moderator baru akan mengamati apa yang terjadi dan menentukan hukuman untuk pelaku.

Jenis dan Dampak Harassment Pada Pemain

Jenis harassment yang dialami oleh gamers di voice chat beragam. Tiga jenis harassment yang paling sering terjadi adalah makian, trolling, dan bullying atau perisakan. Namun, pelaku harassment juga melakukan tindakan lain seperti mempermalukan korban, mengancam bahwa mereka akan melukai korban di dunia nyata, atau bahkan melakukan pelecehan seksual.

Jenis harassment yang terjadi di voice chat. | Sumber: VentureBeat

Ketika gamers menghadapi harassment -- baik di voice chat maupun di media komunikasi lainnya -- hal ini akan mempengaruhi kebiasaan bermain mereka. Survei dari Voicebot menunjukkan, 38% korban dari perilaku toxic mengurangi waktu bermain setelah mereka mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari gamers lain.

Sementara itu, sebanyak 5% gamers yang menjadi korban harassment di sebuah game memilih untuk berhenti memainkan game tersebut hingga esok hari. Sebanyak 23% gamers mengaku, mereka akan berhenti bermain untuk beberapa waktu setelah mereka menjadi korban dari perilaku toxic. Untuk menghindari harassment, 40% gamers memilih untuk mematikan fitur voice chat selama beberapa waktu. Mengingat fitur voice chat sebenarnya bisa membuat pengalaman bermain menjadi lebih baik, keputusan gamers untuk mematikan fitur tersebut akan memperburuk pengalaman bermain mereka.

Kabar baik bagi developer, kebanyakan gamers sudah merasa puas dengan moderasi yang developer lakukan setelah harassment terjadi. Ketika ditanya tentang solusi untuk mengurangi tingkat toxicity dalam game, sebanyak 43,9% gamers mengatakan, mereka ingin sistem komplain yang memungkinkan mereka untuk mengirimkan file audio dari voice chat pada moderator hanya dengan satu klik saja.

Solusi yang pemain inginkan. | Sumber: VentureBeat

Toxicity dalam game merupakan masalah besar di industri game. Namun, mengatasi masalah itu bukan hal mudah. Apalagi karena setiap hari, ada jutaan pemain yang memainkan sebuah game selama beberapa jam. Hal ini berarti, jumlah data audio yang harus dipantau oleh perusahaan game bertambah sebanyak puluhan juta data setiap harinya.

CEO Speechly, Otto Söderlund percaya, AI bisa membantu perusahaan game untuk melakukan moderasi di voice chat. Saat mendirikan Speechly, Söderlund mengumpulkan para ahli machine learning untuk mendeteksi makian dan ucapan toxic lainnya menggunakan speech recognition AI. Dia percaya, keberadaan tool ini akan membantu para developer game untuk melakukan moderasi dalam chat di game mereka.

Menurut Söderlund, perilaku toxic di kalangan gamers bisa diselesaikan dengan efektif menggunakan sistem reputasi. Dalam sistem reputasi, setiap pemain akan mendapatkan nilai berdasarkan laporan dari pemain lain. Jika seorang pemain mencapai nilai tertentu, dia akan mendapatkan peringatan atau hukuman, seperti pemblokiran akun.

"Tidak banyak gamer yang memiliki perilaku toxic," kata Söderlund, dikutip dari VentureBeat. "Namun, kelompok kecil ini dapat menciptakan masalah besar. Menggunakan sistem reputasi dapat membantu perusahaan game untuk menemukan segelintir gamers yang bermasalah."

Sumber header: Pexels