Mengapa Banyak Game Baru yang Dilanda Isu Performa di PC?

Judul demi judul, problemnya selalu hampir sama: stuttering

Enam bulan terakhir ini merupakan periode yang cukup membahagiakan bagi komunitas gaming. Satu demi satu judul game AAA bermunculan, tidak jarang dalam waktu yang cukup berdekatan. Penantian panjang akan sederet game yang mengalami penundaan perilisan akibat pandemi akhirnya terbayarkan juga.

Sayang situasinya agak berbeda bagi para gamer PC, sebab sebagian besar game AAA yang dirilis dalam beberapa bulan terakhir hadir dalam kondisi yang jauh dari kata optimal di platform PC. Kecuali Anda menggunakan prosesor dan kartu grafis generasi terbaru, sulit rasanya mendapatkan performa yang mulus, dan ini pada akhirnya membuat cukup banyak gamer PC merasa frustrasi.

Ambil contoh Wild Hearts, action RPG terbaru besutan Omega Force dan EA. Game tersebut menuai banyak pujian dari sisi gameplay, akan tetapi laman Steam-nya dibanjiri ulasan negatif yang mengeluhkan soal performanya.

"Harganya lebih tinggi daripada FPS yang bisa Anda dapatkan di game ini," tulis seorang pengguna. Tidak sedikit pula pengguna yang memutuskan untuk refund setelah mendapati game-nya tidak bisa berjalan dengan baik di PC mereka. Yang lebih mencengangkan, sebagian dari mereka mengaku memiliki spesifikasi PC yang cukup tinggi — menunjukkan betapa jeleknya optimization dalam game ini.

Wild Hearts bukan satu-satunya game baru yang dirundung masalah performa di platform PC. Contoh lainnya adalah Hogwarts Legacy, yang versi PC-nya mengalami problem stuttering cukup serius. Bahkan di beberapa PC dengan spesifikasi high-end pun, isu stuttering di Hogwarts Legacy ini tetap tak terhindarkan.

Hogwarts Legacy / Warner Bros. Games

Stuttering seakan menjadi tema bagi game-game AAA yang dirilis di PC dalam enam bulan terakhir. Forspoken, The Callisto Protocol, Dead Space Remake, semuanya dilanda problem stuttering saat pertama kali dirilis. Kalau beruntung, problem ini dapat ditangani dengan cepat, seperti yang terjadi pada Callisto Protocol dan Dead Space.

Tidak harus game baru, stuttering juga bisa melanda game lawas yang 'dibarukan', seperti contohnya The Witcher 3: Wild Hunt - Complete Edition dan The Outer Worlds: Spacer's Choice Edition. Keduanya sama-sama game lama yang dipoles ulang agar dapat tampil lebih memukau di konsol next-gen. Sayangnya, ketika dibuka di PC, performanya malah terkesan amburadul.

Melihat banyaknya game PC baru yang dirilis dalam kondisi tidak optimal, sebagian dari kita mungkin bakal bertanya-tanya, "Salah siapa ini?" Apakah salah developer, salah tim quality assurance (QA) yang menguji, atau malah salah game engine yang digunakan?

Kebetulan, dari beberapa judul yang disebutkan tadi, ada beberapa yang menggunakan engine yang sama — Hogwarts Legacy, Callisto Protocol, The Outer Worlds, ketiganya sama-sama menggunakan Unreal Engine 4. Jadi, benarkah ini salah game engine-nya?

Salah Unreal Engine 4?

Sulit menjawab pertanyaan ini tanpa melihat konteksnya secara lebih luas. Secara umum, Unreal Engine 4 memang dikenal memiliki performa yang kurang stabil. Visual yang disajikan memang menawan, tapi semua itu akan terasa percuma kalau game-nya tersendat-sendat setiap beberapa detik sekali.

Ada banyak contoh game yang dibuat dengan Unreal Engine 4 yang memiliki performa buruk di PC. Mulai dari yang berbujet besar seperti Final Fantasy 7 Remake, sampai karya-karya indie seperti Kena: Bridge of Spirits dan Stray; semuanya sama-sama digarap dengan Unreal Engine 4 dan sama-sama dilanda problem stuttering di PC.

Namun apa benar ini semua salah Unreal Engine 4? Apakah tidak ada yang bisa developer lakukan untuk mengatasi kekurangan dari game engine tersebut? Ada, dan itu telah dibuktikan belum lama ini oleh Atomic Heart dan Hi-Fi Rush.

Atomic Heart / Focus Entertainment

Atomic Heart adalah game FPS single-player baru karya studio asal Rusia bernama Mundfish. Dikembangkan menggunakan Unreal Engine 4, game ini memiliki visual yang memukau dan area open-world yang luas. Namun yang istimewa, game ini dapat berjalan jauh di atas 60 fps pada resolusi 1080p menggunakan kartu grafis sejuta umat — NVIDIA GeForce GTX 1060 — dan tanpa problem stuttering sama sekali.

Hi-Fi Rush pun juga demikian. Game action bikinan Tango Gameworks ini merupakan bukti nyata bahwa Unreal Engine 4 tidak selamanya harus 'dinodai' isu stuttering. Permainan akan berlangsung mulus dari awal sampai akhir, dan ini bahkan berlaku untuk PC dengan spesifikasi pas-pasan sekalipun.

Lalu apa yang kedua developer game ini lakukan untuk bisa mencapai hal tersebut? Jawabannya simpel: shader pre-compilation.

Shader pre-compilation sebagai solusi jitu

Berbeda dari konsol, platform PC tidak memiliki standar hardware yang pasti. PC yang saya gunakan berbeda spesifikasinya dari PC yang Anda pakai, dan itu berarti developer tidak bisa menyematkan satu set kode yang sama agar grafik game dapat di-render dengan sempurna di PC Anda dan saya.

Di sinilah developer harus bergantung pada proses yang dinamakan shader compilation. Proses ini berjalan secara simultan dengan game, dan ketika sedang berlangsung, biasanya akan terjadi stutter alias jeda yang amat singkat selama sepersekian detik. Di game open-world, stuttering umumnya paling sering terjadi ketika memasuki area baru yang belum pernah dijelajahi sebelumnya.

Problem ini nyaris tidak akan kita temui di konsol. Pasalnya, developer sudah tahu pasti spesifikasi hardware seperti apa yang menjadi target mereka, sehingga mereka pun dapat menyematkan shader code dalam kondisi pre-compiled.

Teknik shader pre-compilation ini sebenarnya juga bisa diterapkan di platform PC, hanya saja konsekuensinya adalah pemain harus menunggu cukup lama saat game pertama kali dijalankan — hanya satu kali saja di awal, kecuali ada update. Proses inilah yang terjadi di game seperti Atomic Heart dan Hi-Fi Rush tadi.

Uncharted: The Legacy of Thieves Collection / PlayStation Studios

Lama atau tidaknya tergantung banyak faktor, mulai dari prosesor yang digunakan sampai game-nya itu sendiri. Pada game seperti Uncharted: Legacy of Thieves, shader pre-compilation bisa memakan waktu hingga 10 menit meski sudah menggunakan prosesor yang cukup bertenaga. Namun, saat sudah selesai, permainan pun bisa berjalan lancar tanpa diganggu isu stuttering.

Satu hal yang perlu diingat, shader pre-compilation tidak selalu menjadi jaminan game akan terbebas dari stuttering. Warhammer 40,000: Darktide adalah contoh game yang mengandalkan teknik shader pre-compilation tapi masih tetap dilanda isu stuttering cukup serius. Dalam konteks ini, developernya memang masih punya banyak PR yang harus dikerjakan untuk membuat game-nya berjalan optimal.

Usaha ekstra demi hasil maksimal

Mengembangkan game untuk PC akan terasa lebih sulit ketimbang konsol karena faktor keberagaman hardware itu tadi. Dibutuhkan upaya ekstra agar suatu game dapat berjalan dengan mulus di PC, dan bisa jadi sejumlah developer tidak punya sumber daya atau bahkan waktu yang cukup untuk melakukannya.

Untuk mendapatkan gambaran, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Sony. Ya, kedengarannya memang agak ironis — mengapa kita harus belajar sesuatu tentang game PC dari perusahaan yang selama ini menggeluti dunia konsol — namun kenyataannya Sony memang sibuk merilis portofolio game andalannya di platform PC dalam tiga tahun terakhir ini.

Dari sekian banyak yang sudah dirilis, rata-rata pun memiliki performa yang cukup baik. Mulai dari Days Gone, God of War, sampai Marvel's Spider-man Remastered dan Uncharted tadi, semuanya dapat berjalan sangat optimal bahkan di gaming PC dengan spesifikasi yang tergolong biasa-biasa saja.

Saking optimalnya game-game keluaran Sony di PC, Digital Foundry banyak memakainya sebagai contoh dalam videonya yang membahas tentang langkah-langkah yang bisa developer lakukan untuk menyempurnakan game-nya di platform PC.

Kita sebenarnya tidak perlu terlalu terkejut melihat bagaimana game-game keluaran Sony bisa berjalan dengan baik di PC. Pasalnya, tujuan utama mereka memang tidak lain dari merambah audiens baru (gamer PC), dan mereka jelas ingin memberikan impresi yang bagus.

Apa yang Sony lakukan pun juga hanya sebatas porting, bukan membuat ulang game-nya dari nol. Ini berarti fokusnya tidak akan terbagi ke mana-mana, dan tim developer bisa lebih berkonsentrasi pada aspek-aspek teknis yang krusial dan yang berdampak langsung pada performa game di PC.

Dalam kasus Marvel's Spider-man Remastered, sebagian besar pengerjaannya ditangani oleh Nixxes Software, studio yang memang sudah punya pengalaman soal porting game selama lebih dari dua dekade. Sejak pertengahan 2021, Nixxes juga sudah menjadi anak perusahaan Sony, dan ini pada dasarnya bisa menggambarkan bagaimana sumber daya yang Sony kerahkan pada akhirnya berbanding lurus dengan hasil porting yang didapatkan.

Tentunya tidak semua studio bisa menjadikan Sony sebagai kiblatnya dalam mengembangkan game PC. Namun setidaknya mereka bisa belajar bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal, memang harus ada pengorbanan ekstra yang dilakukan.

Tidak jarang, penundaan perilisan pun juga bisa menjadi solusi pamungkas. Saya yakin sebagian besar gamer tidak akan keberatan menunggu demi mendapatkan pengalaman bermain secara keseluruhan yang lebih memuaskan.